Konsekuensi logis dari aktivitas antropogenik atau aktivitas ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang dianalogikan dapat menunjukkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, ada konsekuensi logis lain yang bersifat negatif, yaitu pencemaran atau kerusakan lingkungan, baik kerusakan di daratan, perairan, maupun udara. Dampak ini sudah terbukti di berbagai hasil penelitian, bahkan sudah dirasakan masyarakat sebagai pelaku kegiatan ekonomi. Selain itu, pertumbuha nekonomi suatu wilayah juga berbanding lurus dengan konsumsi energinya, namun semakin besar konsums ienergi, kualitas lingkungan semakin menurun akibat peningkatan emisi karbondioksida (Sachs, 2015; Riti & Shu, 2016). Gas karbondioksida (CO2) adalah salah satu Gas Rumah Kaca (GRK) yang berfungsi untuk menghangatkan permukaan bumi sehingga layak untuk dihuni. Gas karbondioksida dan GRK lainnya yang jumlahnya berlebihan di atmosfer dapat menyebabkan pemanasan global yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa karbondioksida adalah salah satugas polutan udara. Selain karbondioksida, gas penyebab polusi udara lainnya yang cukup sering dihasilkan dari pembakaran bahan bakar adalah gas sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan NOx lainnya. Gas-gas tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan pernafasan pada manusia dan hujan asam yang pada akhirnya menimbulkan dampak turunan karena dapat merusak bangunan dan berbahaya bagi species di permukaan bumi.
Polusi udara adalah salah satu bentuk pencemaran dan kerusakan lingkungan yang berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan aktivitas perekonomian sehingga seringkali menjadi masalah yang menantang dan harus segera ditangani di berbagai daerah, khususnya di daerah-daerah yang padat penduduknya di Indonesia. Masalah ini tentu dapat diantisipasi dan tidak perlu terjadi jika upaya perlindungan dan pengelolaan mutu udara dilaksanakan dengan baik sejak awal. Belajar dari masalah polusi udara yang telah banyak terjadi di daerah lain, seperti apa kondisi kualita sudara dan pengelolaannya di Kepulauan Bangka Belitung?
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengembangkan suatu indeks yang dapat menjadi ukuran untuk mendeskripsikan kualitas lingkungan,sekaligus menjadi indikator target dalam pembangunan di sektor lingkungan hidup dan kehutanan, yaitu Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH). Nilai IKLH adalah nilai komposit dari Indeks Kualitas Air (IKA), Indeks Kualitas Udara (IKU), Indeks Kualitas Lahan (IKL), dan Indeks Kualitas Air Laut (IKAL) yang dapat menggambarkan kualitas lingkungan dalam suatu wilayah pada waktu tertentu. Nilai IKLH di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dihitung setiap tahun berdasarkan data pemantauan yang mengilustrasikan kondisi air, udara, lahan, dan laut. Kondisi kualitas udara di Kepulauan Bangka Belitung dapat diilustrasikan menggunakan salah satu komponen nilai IKLH, yaitu nilai IKU yang sekaligus dapat menjadi indikator kinerja pemerintah dalam pengelolaan kualitas udara. Indeks ini memiliki rentang nilai 0–100, dengan pembagian kategori terdiri atas lima kategori, yaitu sangat kurang (0–25), kurang (25–50), sedang (50–70), baik (70–90), dan baik sekali (90–100). Gambar berikut menyajikan data IKU di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2015 hingga 2022.
Gambar Tren IKU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Pada gambar di atas terlihat bahwa nilai IKU di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki kecenderungan yang menurun, khususnya dalam tiga tahun terakhir. Nilai IKU tiga tahun terakhir masih ada dalam rentang kategori baik, namun jika kualitas udara ini terus-menerus tidak dikelola dengan baik, tentunya IKU ini akan terus menurun hingga dalam batas yang tidak dapat ditoleransi lagi oleh kesehatan manusia, atau bahkan dapat merusak bangunan.
Hasil proyeksi IKU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung hingga tahun 2050 secara business as usual (sesuai tren saat ini tanpa adanya intervensi apapun) menunjukkan bahwa pada tahun 2049 nilai IKU akan turun hingga nilai 70 (kategorisedang). Penurunan ini dengan asumsi bahwa aktivitas ekonomi berjalan sebagaimana saat ini. Faktanya, kegiatan pembangunan di Kepulauan Bangka Belitung terus berjalan dan semakin cepat. Berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2015 hingga 2022, ekonomi Kepulauan Bangka Belitung terus tumbuh (kecuali tahun 2020 saat masa Pandemi Covid-19). Pertumbuhan ekonomi ini berkebalikan dengan kondisi nilai IKU yang justru menurun. Pada masa Pandemi Covid-19 pun nilai IKU mengalami penurunan. Penurunan ini kemungkinan karena adanya kenaikan aktivitas produksi listrik mengingat kebutuhan listrik penduduk yang bekerja dari rumah semakin meningkat, serta kenaikan aktivitas industri makanan dan minuman. Kondisi keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan nilai IKU ini menunjukkan pentingnya mengendalikankualitas udara sejak dini dengan mengintegrasikannya kedalam perencanaan pembangunan.
Nilai IKU dipengaruhi oleh kualitas udara hasil pemantauan kondisi udara ambien di area yang mewakili aktivitas transportasi, area industri, area permukiman, dan area perkantoran. Penurunan kualitas udara di Kepulauan Bangka Belitung dapat isebabkan oleh berbagai sumber pencemar, seperti peningkatan aktivitas di sektortransportasi dan industri. Polutan udara dapat berasal dari aktivitas di keempat area yang menjadi lokasi pemantauan atau dari area lain. Karakteristik udara yang mudah bergerak dari satu tempat ketempat lain yang dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan memungkinkan polutan udara menyebar ke area di sekitar sumber pencemar.
Berdasarkan data dalam Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (IKPLHD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2023, penurunan kualitas udara di Kepulauan Bangka Belitung terutama disebabkan oleh peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Perbandingan data tahun 2021 dan 2022 menunjukkan adanya kenaikan yang cukup besar dalam penggunaan kendaraan bermotor. Data berikut ini memperkuat fakta bahwa kecenderungan masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung dalam penggunaan kendaraan bermotor, khususnya kendaraan pribadi cukup tinggi.
Tabel PerbandinganJumlahKendaraanBermotor
Jenis KendaraanBermotor
Tahun 2021
Tahun 2022
Jumlah (Unit)
Bahan Bakar
Jumlah (Unit)
Bahan Bakar
Sepeda Motor
751.795
- bensin: 751.795 unit
1.054.869
- bensin: 1.054.789 unit
- listrik: 80 unit
Mobil Penumpang
78.594
- bensin: 72.722 unit
- solar: 5.872 unit
97.715
- bensin: 89.561 unit
- solar: 8.142 unit
- listrik: 12 unit
Sumber: Samsat Online, 2022 (data telahdiolah)
Kenaikan jumlah penggunaan kendaraan bermotor akan meningkatkan penggunaan bahan bakar di sektortransportasi yang hingga saat ini masih didominasi bahan bakar fosil yang ketersediaannya di alam sangat terbatas. Bahan bakar fosil cenderung menghasilkan emisi lebih banyak jika dibandingkan dengan bahan bakar dari sumber energi terbarukan. Pada tabel di atas terlihat bahwa pada tahun 2022, penduduk di Kepulauan Bangka Belitung mulai ada yang menggunakan kendaraan bermotor dengan sumber energi dari listrik. Hal ini menunjukkan adanya pergerakan kearah penggunaan energi yang lebih bersih. Meskipun demikian, kenaikan jumlah penggunaan kendaraan bermotor dibarengi dengan penggunaan bahanb akar fosil yang lebih besar.
Aktivitas penggunaan bahan bakar tidak hanya dilakukan di sektor transportasi, tetapi juga di sektor industri seperti industri pembangkit listrik. Penggunaan listrik sebagai sumber energi kendaraan bermotor memang lebih bersih, tetapi sumber energi listrik yang dominan bersumber dari batubara dan diesel tentu permintaan listrik yang meningkat akan menambah konsumsi bahan bakar fosil di pembangkit. Hal ini tentunya menjadi salah satu pertimbangan dalam perumusan strategi penerapan kendaraan listrik sebagai salah satu bentuk upaya untuk mengurangi emisi. Pengurangan emisi di sektor transportasi seharusnya tidak menyebabkan peningkatan emisi di sektor industri pembangkit listrik.
Selain faktor di atas, penurunan kualitas udara di Kepulauan Bangka Belitung dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang belum terpantau, seperti kebakaran lahan, baik yang disengaja maupun tidak. Dengan demikian, peran serta dan kesadaran masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung untuk tidak membuka lahan dengan cara membakar atau mengurangi aktivitas membakar sampah (terutama sampah plastik) sangat diperlukan untuk menciptakan kualitas udara yang lebih baik dan sehat, atau paling tidak mempertahankan kualitas udara yang saat ini masih dalam kondisi baik.
Perumusan strategi untuk pengendalian kualitas udara tentu memerlukan perencanaan yang matang dan komitmen dari semua pihak, baik pemerintah, swasta, akademisi, maupun masyarakat. Pemantauan dan evaluasi kualitas udara ambien menjadi langkah penting pertama dalam pengendalian pencemaran udara. Data pemantauan tersebut sangat penting diketahui komunitas ilmiah, pembuat kebijakan, pembuat peraturan, dan khususnya masyarakat umum dengan cara yang mudah dipahami. Saat ini masyarakat telah mengenal adanya Air Quality Index (AQI) yang dikembangkan oleh lembaga lingkungan hidup yang lebih berfungsi sebagai indikasi pencemaran udara. Selain AQI, pemerintah juga mengembangkan IKU (bagiandari IKLH) sebagai indikator kondisi udara yang dihitung setiap tahun sebagai indikator kinerja pemerintah dalam pengendalian kualitas udara.
Hasil pemantauan atau nilai indikator yang telah dikembangkan tentu bermanfaat untuk mengetahui kondisi kualitas udara, akan tetapi nilai tersebut tidak akan bermanfaat untuk memperbaiki kondisi kualitas udara jika tidak dibarengid engan kebijakan dalam bentuk perencanaan atau strategi pengendalian kualitas udara. Dalam perumusan strategi pengendalian kualitas udara perlu dipertimbangkan berbagai faktor yang terkait, seperti kondisi udara terkini, sumber-sumber pencemar udara, dan kegiatan ekonomi masyarakat. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, pertumbuhan ekonomi sejalan dengan peningkatan emisi karbondioksida. Hal ini karena sebagian besaraktivitas ekonomi menggunakan sumber energi atau melibatkan aktivitas pembakaran yang pasti menghasilkan emisi. Contoh sederhananya adalah mobilitas masyarakat untuk bekerja yang menggunakan kendaraan bermotor pribadi. Pertumbuhan penduduk yang dibarengi dengan peningkatan aktivitas ekonomi tentunya akan menyebabkan penurunan kualitas udara. Kompleksitas permasalahan dalam pengendalian kualitas udara tentu menjadi “Pekerjaan Rumah (PR)” tersendiri bagi Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Apalagi saat ini Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sedang dalam tahap perumusan dan penetapan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang akan berlaku untuk 30 tahun kedepan. Bagaimana perencanaan untuk perlindungan dan pengelolaan kualitas udara dalam jangka waktu 30 tahun kedepan? Tentunya rencana ini tidak hanya harus tercantum dalam RPPLH, tetapi juga harus disusun strateginya tersendiri yang dapat menjabarkan strateginya secara lebih detail dalam jangka waktu lima tahunan.